WELCOME
Sabtu, 22 Maret 2014
Inspirasi Film Sang Penari dari Novel Ronggeng
Sebuah film yang terinspirasi dari sebuah novel karya Ahmad Tohari ini harus diperhitungkan dalam industri per-filman di Indonesia. Sebab, film ini mampu mengangkat cerita cinta dalam balutan kisah mengenai carut marut dunia politik yang pernah terjadi di Indonesia dan kehidupan sebuah dusun yang selalu didera kemiskinan dan kekeringan. Ifa Isfansyah (Sutradara Film Sang Penari) mengaku filmnya terinspirasi dari novel Ronggeng Dukuh Paruk tapi bukan adaptasi dari novel tersebut. Karena, yang saya tahu penulis novel memang menyarankan agar novelnya hanya menjadi inspirasi saja dan untuk membebaskan sutradara dalam berimajinasi di filmnya tersebut.
Semula saya berfikir film yang terinspirasi dari novel Ronggeng Dukuh Paruk ini ceritanya tidak jauh berbeda dengan novelnya. Ternyata, apa yang saya pikirkan salah. Cerita dari film Sang Penari sangat jauh berbeda dengan novelnya. Sutradara memang lebih membuka imajinasinya tentang novel tersebut dengan lebih luas dan lebih bebas menceritakannya kembali. Tetapi dapat saya akui, secara isi unsur cerita dari film Sang Penari secara keseluruhan adalah unsur cerita dari novel Ronggeng Dukuh Paruk karena dalam cerita Sang Penari, tokoh yang dipakai masih sama dengan tokoh yang ada di novel dan latar tempat ceritanya pun masih sama seperti misalnya nama dusun Dukuh Paruk dan Pasar Dauwan.
Namun, banyak juga cerita-cerita yang berubah dan sedikit ditambah-tambahkan di dalam filmnya. Seperti di awal film misalnya, usia Srintil pada saat Srintil dinobatkan menjadi seorang ronggeng yang berbeda dengan cerita di novelnya, hadirnya tokoh Surti dalam film yang menjadi ronggeng sebelum Srintil yang dalam novel sama sekali tidak ada cerita mengenai ronggeng Surti, dan masih ada beberapa cerita lain yang diubah dalam film ini. Sekalipun banyak terjadi perubahan cerita dalam filmnya, Sang Penari tidak bisa begitu saja dilepaskan dari Ronggeng Dukuh Paruk karena memang sejauh unsur cerita yang terlihat memang masih memiliki satu ikatan atau satu alur tersendiri.
Banyak unsur yang terdapat dalam novel ini seperti misalnya kemiskinan, kekeringan, sejarah sosial-politik Indonesia, relativitas nilai-nilai kultural dan moral, modernitas, tradisionalitas dan unsur-unsur lain yang lebih kecil yang ikut menyatu dan memadatkan isi cerita novel. Namun, dari sekian banyak unsur yang menurut saya lebih banyak terdapat dalam novel ini adalah unsur tentang cinta. Bagaimana kisah cinta Srintil dibahas secara mendalam di dalam novel ini, penulis mampu membuat cerita dengan latar percintaan ini dengan membuat pembaca masuk dan ikut bergejolak dalam kisah cinta tersebut. Banyak hal-hal yang dirasakan Srintil dan mampu mengajak saya untuk bisa merasakannya juga karena terbawa oleh arus permainan kata yang digunakan oleh penulis.
Sama halnya dengan film Sang Penari yang saya rasa, sutradara terlalu berlebihan dalam memasukan unsur percintaan ke dalam filmnya, sehingga unsur-unsur lain seperti kebudayaan, politik, sosial, moral, dan unsur lainnya yang sangat dalam dibahas dalam novel sedikit terabaikan. Padahal jika unsur-unsur tersebut tidak hanya dipakai sebagai hiasan saja, akan memperkuat unsur cerita dalam film tersebut terutama unsur kebudayaan dan politiknya.
Sebetulnya sempat terbayang oleh saya bagaimana kehidupan di Dukuh Paruk yang selalu dikelilingi kemiskinan dan didera kekeringan, rasa iba terhadap warga Dukuh Paruk dapat saya rasakan ketika membaca novel Ronggeng Dukuh Paruk. Tetapi, ketika saya menonton filmnya, sangat berbeda dengan profil Dukuh Paruk yang digadang-gadang serba kekeringan itu ketika saya melihat bagian yang menurut saya hampir sama dengan cerita di novel, namun maknanya terpatahkan begitu saja hanya karena satu hal. Misalnya dibagian yang satu ini, pada saat bocah Dukuh Paruk yang sedang mencuri singkong di ladang, dengan mudahnya bocah-bocah tersebut mencabut singkong yang tertanam pada tanah yang baru saja diguyur hujan. Padahal pada konteksnya Dukuh Paruk adalah desa yang serba kekeringan dan hal itu terpatahkan karena cerita film pada bagian tersebut.
Tetapi ada bagian di film yang menurut saya patut mendapat pujian, keberanian sutradara menampilkan drama politik yang ada dalam dusun itu patut diacungi jempol, padahal dalam novel yang dituliskan oleh Ahmad Tohari ini tidak begitu berani menceritakan mengenai pembunuhan orang-orang komunis PKI oleh tentara. Dan menceritakan bagaimana ada orang yang dibunuh dan mayatnya mengambang di sungai. Tentunya terdapat juga keberanian Ahmad Tohari dalam bercerita, sekalipun hanya menggunakan simbol, tetapi saya dapat menangkap makna dari simbol tersebut. Seperti misalnya, ketika Sakarya mendapati makam Ki Secamenggala diporak porandakan oleh orang yang mereka fikir adalah orang-orang dari PKI, tiba-tiba ada seseorang yang datang dengan membawa caping hijau. Di sanalah keberanian Ahmad Tohari yang dengan simbolnya “caping hijau”, yang saya tahu warna hijau itu identik dengan atribut kelompok NU, kelompok agama terbesar yang diperintahkan oleh militer untuk membasmi anggota PKI. Kelompok NU tidak sepenuhnya menjadi pelaku dalam cerita ini, mereka juga menjadi korban karena mereka diperdaya oleh militer agar mau membasmi anggota PKI. Dengan menggunakan simbol “caping hijau” secara berani Ahmad Tohari membentangkan pedoman lain selain kemiliteran dan komunis, yaitu kelompok keagamaan.
Berbanding terbalik dengan keberanian Ahmad Tohari, Isfansyah yang masih belum berani mengungkap simbol yang dituliskan oleh Ahmad Tohari terlihat ketika Bakar (Lukman Sardi) yang sedang berdiri di samping reruntuhan makam Ki Secamenggala pada malam hari, ketika itu Bakar menunjukkan caping namun warnanya disamarkan. Bisa jadi hal tersebut sengaja dibuat oleh sutradara karena memang sutradara yang masih takut menerima reaksi dari kelompok NU.
Pada akhir cerita dalam novel, Ahmad Tohari menunjukkan anti-klimaks pada ceritanya tersebut. Terlihat ketika bagaimana kehancuran Dukuh Paruk yang dianggap sebagai pedukuhan cabul dan komunis yang menyebabkan para pelaku ronggeng dipenjarakan selama dua tahun lamanya. Dengan bertahap Ahmad Tohari menceritakan kisah Srintil setelah keluar dari penjara yang akhirnya Srintil mengalami gangguan kejiwaan akibat kekecewaannya terhadap Bajus, lelaki yang berjanji akan menikahinya namun ia malah menjual Srintil kepada lelaki hidung belang demi mendapat penghasilan untuk Bajus. Sebelum Srintil mengalami gangguang kejiwaan diceritakan bahwa Srintil ingin membebaskan dirinya dari segala hal yang berhubungan dari ronggeng. Tetapi diakhir film, Srintil tiba-tiba muncul dengan Sakum dan kembali meronggeng dengan cerianya. Tanpa dijelaskan kemana perginya Sakarya dan Kertareja. Juga bagaimana bisa Srintil tiba-tiba kembali meronggeng dengan wajah cerianya. Terjadi perbedaan yang bertolak belakang di akhir cerita ini. Dalam novel, cerita berakhir dengan tragis dan menyedihkan tetapi di dalam film cerita berakhir dengan keceriaan dan keromantisan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar